Perkusi/Beatbox : wajibkah di nasyid acapella?


“Untuk maju, hanya ada dua pilihan: 1. Lebih baik dari yang sudah ada 2. Be Different.”
Kata-kata seorang sohib saya terngiang-ngiang kembali. Dan agaknya terasa pas dengan topik yang saya gulirkan saat ini.

Dahulu kala di Semarang, sang ibukota nasyid (yang ini cuma opini aku, manas-manasin yang lain biar semangat, huahaha) sohib saya itu memberikan ceramah kepada sebuah tim. Dia menganggap tim itu terlalu berkiblat kepada tim lain yang sudah terkenal.

“Mau sebagus apapun kalian, kalau meniru apa yang sudah mereka perbuat, tetap saja akan dicap tidak lebih bagus dari mereka. Kecuali kalo kalian bawakan sesuatu yang setipe, namun lebih baik. Tapi, lebih baik lagi jika kalian be different. Jadi sesuatu yang berbeda.”

Tim itu akhirnya memilih jalan kedua : Be Different. Mereka mengembangkan konsep acapella unik-modern dengan kekuatan bertumpu pada perkusi dan bass. Setelah sekian waktu berlalu, ucapan sohib saya itu valid dan signifikan. Tim itu akhirnya sejajar dengan tim terkenal yang mereka tiru. Sohib saya itu adalah Aris (ketua ANN Jateng periode 1). Tim yang meniru itu adalah Awan. Tim yang ditiru itu….tiiiit (gak mau nyebut ah. Ntar GR he he)

Saya tidak bilang gara-gara Awan trus banyak bermunculan perkusi-beatbox. Kenyataannya, di tempat lain bisa jadi lebih dulu berkembang ketimbang Semarang. Tapi, di era mereka menanjak, malah makin banyak tim-tim serupa muncul, apalagi di Semarang. Hampir semua pakai perkusi. Hampir semua menyanyikan lagu dengan kehadiran perkusi di setiap bagian lagu, dari awal sampai akhir.



Yang bikin makin capcai, ternyata fenomena ini tidak hanya di Semarang. Suatu saat, teman saya menghadiri pernikahan di kota lain, yang pengisinya beberapa tim acapella. Komentarnya : “Nasyidnya bagus-bagus ya. Sayang ngebosenin, karena serupa. Pake perkusiii semua. Kayak gitu semua lagi,”

Pertanyaannya sekarang : apakah nasyid acapella harus ada perkusi? Apakah hanya nasyid acapella berbeatbox yang bisa memukau? Sori mayori, sebenarnya ini bukan pertanyaan saya (saja). Tapi, temen saya yang malah lebih gemes, manakala tahu ketika membuat tim nasyid acapella, maka menunya harus lead vokal, choir, perkusi, dan bass. Pokoknya kalo gak ada perkusi, serasa tamatlah riwayat tim itu.

Sah-sah saja dan hak asasi lah ya kalo tim nasyidnya (yang acapella) mau berperkusi full. Tetapi kembali lagi ke konsep ingin maju, berarti teman-teman memilih konsep 1: Lebih baik dari yang sudah ada. Masalahnya, tim-tim nasyid berperkusi sekarang sudah sangat membludak. Jika diibaratkan ocean (samudera), mereka berada dalam red ocean, yaitu sebuah zona yang banyak pesaing dan jika ingin maju harus berdarah-darah. Tentu energi yang dikeluarkan agar bisa lebih baik dari tim-tim yang ada lebih besar (karena sekali lagi, saingannya lebih banyak). Walaupun saya yakin 110%, kalo ada keinginan untuk maju, pasti tim itu bisa maju.

Tapi tak ada salahnya, jika kita menengok Blue Ocean (Biru = ketenangan, sedikit pesaing) dengan menjadi Be Different. Misalnya menggunakan perkusi seperlunya, sesuai kebutuhan ; fokus pada harmonisasi suara ; fokus dengan menyanyi gaya folklore (budaya-budaya tradisional); atau malah fokus dengan acapela dan lirik lucu menggemaskan, meski minim perkusi (yang terakhir sedang dikembangkan Alief dan Firto, proyek pembuktian kalo nasyid acapella bisa bagus, meski tanpa perkusi full dan rumit). Itu hanya beberapa alternatif. Para munsyid pasti bisa mencari yang lain.

Buat para munsyid dan tim nasyid acapella perkusi, saya mohon maaf. Tidak bermaksud mengusik teman-teman, tapi hanya sekedar memberi inspirasi buat tim lain yang sebenarnya bagus tapi tidak ahli perkusi. Kasian kan kalau mereka harus maksain perkusi, padahal naudzubillah.

Sebenarnya budaya latah ini sudah sering terjadi di nasyid, tidak hanya masalah perkusi/beatbox. Waktu suara Dicky Fatih membawakan sebuah lagu dan akhirnya sukses. Banyak tim nasyid ikut-ikutan berlead vokal dengan suara diunik-unikin gimana geto. Sekarang di Semarang lagi latah niru tak-tuk-tak Juosssh Taqien (bete aku, huahaha). Dulu pas JV sukses memedleykan lagu dangdut dan nasyid (Wanita Soleha dkk), semua ikut-ikutan itu. Bahkan, gaya-gaya Faris diikuti. Masih tim yang sama, pas lagu Rumus Canggih dilucukan dengan gaya mengecilkan dan membesarkan volume suara, semua juga latah. Pun pas Kekasih Allah meledak, banyak peniru suara gitar listrik (yang persis seperti Awan) atau perkusinya.

Sebenarnya budaya latah ini sudah sering terjadi di nasyid, tidak hanya masalah perkusi/beatbox. Waktu suara Dicky Fatih membawakan sebuah lagu dan akhirnya sukses. Banyak tim nasyid ikut-ikutan berlead vokal dengan suara diunik-unikin gimana geto. Sekarang di Semarang lagi latah niru tak-tuk-tak Juosssh Taqien (bete aku, huahaha). Dulu pas JV sukses memedleykan lagu dangdut dan nasyid (Wanita Soleha dkk), semua ikut-ikutan itu. Bahkan, gaya-gaya Faris diikuti. Masih tim yang sama, pas lagu Rumus Canggih dilucukan dengan gaya mengecilkan dan membesarkan volume suara, semua juga latah. Pun pas Kekasih Allah meledak, banyak peniru suara gitar listrik (yang persis seperti Awan) atau perkusinya.

Boleh-boleh aja meniru. Konon seorang pelukis Cina pemula harus menirukan sama persis lukisan asli, diawal ia belajar. Tetapi, semua ada masanya. Kelak pelukis itu mencoba mencari gaya sendiri setelah mapan. Harapannya di nasyid juga demikian. Kelak para tim nasyid bermimpi suatu saat mereka yang jadi inspirasi. Dan semoga itu tidak lama, hanya kerena keenakan meniru dan latah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar